Dik, kali ini kakakmu ingin bercerita satu hal yang dicemaskan banyak pihak.
Beberapa bulan yang lalu kakak sempat berdiskusi dengan kawan yang kebetulan berstatus mahasiswa Arsitektur di sebuah PTN. Obrolan kami asik menggelinding, lalu masuk pada topik:
“Mas, menurutmu bagaimana kalau bekerja tak sejalan dengan jurusan kita?”
“Loh, kok tanya gitu. Memang kenapa Mas?”
“Kalau di sini lulusan yang kerja di luar arsitektur terkesan malu-maluin. Lama kuliah kayak gini masak kerja nggak linear?”
Aku terdiam.
Dik, ini bukan pertama kali kakak menemukan keresahan serupa. Misal dik, dari teman-teman seangkatan yang pernah terlibat obrolan setema, beberapa terlihat percaya diri atau mungkin sedikit arogan berkata, masak kuliah di Geologi kerjanya kayak gitu?.
Pun juga senior kita, beberapa dari mereka yang pernah kakak jumpai nyata terlihat malu-malu kikuk mengatakan kesibukannya saat ditanya kerja dimana, -yang ternyata tidak linear-.
Dan hei, dari kawan-kawanmu, junior-junior kakak yang memandang nanar bernada prihatin lirih berkata, ah kuliah di sini jadinya kerja di sana ya. Hemm.. Padahal kan saya mau kerja di oil and gas.
Dari sini dik, kakak memandang momok itu nyata-nyata telah berubah lebih dari sekadar rasa resah, tapi menjelma apik menjadi sebuah “masalah”.
Coretan ini kakak tulis sebagai wujud sudut pandang kakak dalam berkarier pasca kuliah plus melihat keresahan dan kecanggungan di sana-sini, di sekitar kita, dik. Walaupun saat ini kakak bekerja di perusahaan yang kata orang cocok dengan apa yang dulu aku pelajari, tapi kakak rasa perlu sekali untuk menulis ini.
Dik, kata orang di atas sana, sekitar 20% dari APBN kita dipersembahkan untuk pendidikan bukan? Bagus memang dik. Generasi emas yang digembor-gemborkan lahir 28 tahun lagi tak mungkin ada tanpa perhatian pendidikan yang istimewa. Tapi menjadi tak bagus jika hal ini menjadi kedok mereka untuk sedikit menghardik halus bagi kawan-kawannya yang bekerja di ranah yang "berbeda". Kakak pernah membaca sebuah status kurang lebih berisi sindiran bagi ia yang tak bekerja di ilmu yang sama adalah telah menyia-nyiakan subsidi pemerintah agar kita membangun bangsa. Wah, ini sudah kebablasan bukan dik?
Sekarang kakak ingin bertanya dik, memang apa yang kita pelajari selama kuliah? Apa hanya batuan, cara menganalisis fosil, mencari minyak, menghitung cadangan batubara? Apa Adik tau bahwa kuliah juga tempat belajar pengalaman lain?
Dik, universitas itu ibarat kolam renang. Yang barang tentu kita harus belajar berenang. Di sana kedalamannya terukur, suhu terjaga, tekanan terkontrol, pun dimensinya rigid. Kita di sana diminta berenang dalam kondisi yang ideal dik. Nantinya, usai pak rektor memindah tali topi wisuda kita, kita akan dilepas berenang di laut lepas yang jika kita tak belajar sebaik mungkin dan setrampil mungkin di kolam renang, kita akan mati tenggelam di lautan dalam.
Beberapa kawan kakak selama kuliah ada yang sibuk berbisnis dik, dari gorengan, pulsa, sepatu, hingga produk-produk kecantikan. Hilir mudik dia menawarkan barang ke teman sepermainan. Padahal dia mahasiswa geologi, padahal dia mahasiswi komunikasi, padahal dia anak ilmu politik, padahal dia kuliah di kedokteran. Keren bukan! Bukannya kata mereka negeri ini sedang krisis jumlah pengusaha?
Beberapa kawan kakak ada yang asik berorganisasi sana-sini. Pagi di kelas, sore memimpin rapat. Awal tahun merancang proker, akhir tahun dicerca pertanggungjawaban. Mereka pulang ke kos membawa sejumlah tanggungan amanah.
Beberapa kawan kakak ada yang sibuk menjadi aktivis dakwah, pagi kuliah sore berdakwah. Asyik merencakan syiar-syiar yang kadang membuat kakak takjub. Hati-hati mereka membawa titah-titah Tuhan untuk terus bergema dimanapun berada.
Beberapa kawan kakak ada yang terobsesi menyusun karya ilmiah. Bergembira menyusun paper di sana-sini. Menyusun paper kok gembira? Ya itulah yang namanya passion dik. Berkompetisi, berkonferensi, mempersiapkan presentasi memukau dengan gaya bicara dan gesture yang aduhai brilian. Amazing!
Beberapa kawan kakak ada yang tidak bisa move on dari tim kecilnya berdebat. Ya, dia debaters. Berceloteh lincah dengan bahasa asing dan dengan tajamnya membangun gagasan-gagasan. Beradu argumen dengan sopan tapi pasti. Dengan halus tapi tegas. Tidak seperti yang di Senayan sana dik, yang konon katanya berargumen sambil melempar kursi.
Dan yang lain ada pecinta kegiatan sosial. Sore mengajar di TPA, weekend aktif di panti asuhan, pagi hari aktif menggalang dana di gerbang kampus.
Oh ya, satu lagi, IPK mereka luar biasa dik! Jangan dikira mereka orang yang suka membentur-benturkan dua kebaikan, “ya sudah deh IPK jelek tapi aku kan aktivis.” No!
Lihat dik, betapa banyak kegiatan di luar belajar bersama dosen. Itu semua pembelajaran dik. Pembelajaran atas pentingnya mengatur agenda, pentingnya merancang skala prioritas, pentingnya skill berkomunikasi, pentingnya bertanggung jawab, pentingnya membangun etos kerja yang tangguh, dan tentu bermental baja. Semua itu diraih dengan belajar, bukan lahir sebagai bawaan.
Kita mungkin nyaman dengan kondisi ideal di kampus kita dik, tapi kita tak akan tahu akan di laut apa tempat Tuhan melepas kita nanti. Jangan sampai kita miskin soft skill, lalu terhanyut dalam lautan persaingan yang buas.
Dan teman-teman kita yang sudah lulus di sana dan sedang asik berbisnis, atau membangun start up, atau sedang sibuk bekerja yang katamu tak berkorelasi dengan apa yang telah dipelajari mereka, mereka seyogianya sedang menerapkan apa yang telah mereka pelajari dik. Mereka semua justru sedang memakai kemampuan-kemampuan lain dalam berlaga lihai berjuang di dunia nyata yang bak belantara, dengan apik memanfaatkan skill lain yang ia punya, yang telah diasah tajam selama dalam “kolam renang” kampus. Mereka keren!
Dik, kakak ingin sedikit bercerita. Sejujurnya kakak bukan orang yang pintar apalagi terpintar di Geologi. Tanyakan ke mereka, membuat penampang peta geologi saja kakak bertanya ke adik tingkat. Kakak hanya mahasiswa yang asik main sana-sini dan menikmati komunitas-komunitas di mana kakak berkembang di sana. Menyesap manis pengalaman-pengalaman lain yang tak akan didapat hanya dengan duduk di depan layar projector. Dan inilah yang menurut kakak banyak mengantarkan diri dapat bekerja di sini, bukan hanya sekadar mengandalkan kecerdasan ilmu kebumian, namun rangkaian-rangkaian pengalaman yang akan berguna nantinya dalam bekerja. Lihat dik! Bahkan disini pun butuh kemampuan lain yang perlu dipelajari semasa kuliah.
Dik, bersikap idealis dengan tetap berrusaha berkarier dijalur kita itu tak mengapa. Banyak kawan kakak yang masih berjuang tetap mengamalkan ilmunya dengan ikut sejumlah proyek, atau masuk dalam tim apprentice/internship. Yang mereka lakukan dengan tetap linear itu baik. Dan yang lain lakukan di tempat yang “tak sejalan” pun baik. Jangan pernah meremehkan satu pun, dik.
Karena yang terbaik adalah ia yang dengan profesinya bisa bermanfaat untuk khalayak manusia.
Dari seorang anak bungsu,
~Njh
Beberapa bulan yang lalu kakak sempat berdiskusi dengan kawan yang kebetulan berstatus mahasiswa Arsitektur di sebuah PTN. Obrolan kami asik menggelinding, lalu masuk pada topik:
“Mas, menurutmu bagaimana kalau bekerja tak sejalan dengan jurusan kita?”
“Loh, kok tanya gitu. Memang kenapa Mas?”
“Kalau di sini lulusan yang kerja di luar arsitektur terkesan malu-maluin. Lama kuliah kayak gini masak kerja nggak linear?”
Aku terdiam.
Dik, ini bukan pertama kali kakak menemukan keresahan serupa. Misal dik, dari teman-teman seangkatan yang pernah terlibat obrolan setema, beberapa terlihat percaya diri atau mungkin sedikit arogan berkata, masak kuliah di Geologi kerjanya kayak gitu?.
Pun juga senior kita, beberapa dari mereka yang pernah kakak jumpai nyata terlihat malu-malu kikuk mengatakan kesibukannya saat ditanya kerja dimana, -yang ternyata tidak linear-.
Dan hei, dari kawan-kawanmu, junior-junior kakak yang memandang nanar bernada prihatin lirih berkata, ah kuliah di sini jadinya kerja di sana ya. Hemm.. Padahal kan saya mau kerja di oil and gas.
Dari sini dik, kakak memandang momok itu nyata-nyata telah berubah lebih dari sekadar rasa resah, tapi menjelma apik menjadi sebuah “masalah”.
Coretan ini kakak tulis sebagai wujud sudut pandang kakak dalam berkarier pasca kuliah plus melihat keresahan dan kecanggungan di sana-sini, di sekitar kita, dik. Walaupun saat ini kakak bekerja di perusahaan yang kata orang cocok dengan apa yang dulu aku pelajari, tapi kakak rasa perlu sekali untuk menulis ini.
Dik, kata orang di atas sana, sekitar 20% dari APBN kita dipersembahkan untuk pendidikan bukan? Bagus memang dik. Generasi emas yang digembor-gemborkan lahir 28 tahun lagi tak mungkin ada tanpa perhatian pendidikan yang istimewa. Tapi menjadi tak bagus jika hal ini menjadi kedok mereka untuk sedikit menghardik halus bagi kawan-kawannya yang bekerja di ranah yang "berbeda". Kakak pernah membaca sebuah status kurang lebih berisi sindiran bagi ia yang tak bekerja di ilmu yang sama adalah telah menyia-nyiakan subsidi pemerintah agar kita membangun bangsa. Wah, ini sudah kebablasan bukan dik?
Sekarang kakak ingin bertanya dik, memang apa yang kita pelajari selama kuliah? Apa hanya batuan, cara menganalisis fosil, mencari minyak, menghitung cadangan batubara? Apa Adik tau bahwa kuliah juga tempat belajar pengalaman lain?
Dik, universitas itu ibarat kolam renang. Yang barang tentu kita harus belajar berenang. Di sana kedalamannya terukur, suhu terjaga, tekanan terkontrol, pun dimensinya rigid. Kita di sana diminta berenang dalam kondisi yang ideal dik. Nantinya, usai pak rektor memindah tali topi wisuda kita, kita akan dilepas berenang di laut lepas yang jika kita tak belajar sebaik mungkin dan setrampil mungkin di kolam renang, kita akan mati tenggelam di lautan dalam.
Beberapa kawan kakak selama kuliah ada yang sibuk berbisnis dik, dari gorengan, pulsa, sepatu, hingga produk-produk kecantikan. Hilir mudik dia menawarkan barang ke teman sepermainan. Padahal dia mahasiswa geologi, padahal dia mahasiswi komunikasi, padahal dia anak ilmu politik, padahal dia kuliah di kedokteran. Keren bukan! Bukannya kata mereka negeri ini sedang krisis jumlah pengusaha?
Beberapa kawan kakak ada yang asik berorganisasi sana-sini. Pagi di kelas, sore memimpin rapat. Awal tahun merancang proker, akhir tahun dicerca pertanggungjawaban. Mereka pulang ke kos membawa sejumlah tanggungan amanah.
Beberapa kawan kakak ada yang sibuk menjadi aktivis dakwah, pagi kuliah sore berdakwah. Asyik merencakan syiar-syiar yang kadang membuat kakak takjub. Hati-hati mereka membawa titah-titah Tuhan untuk terus bergema dimanapun berada.
Beberapa kawan kakak ada yang terobsesi menyusun karya ilmiah. Bergembira menyusun paper di sana-sini. Menyusun paper kok gembira? Ya itulah yang namanya passion dik. Berkompetisi, berkonferensi, mempersiapkan presentasi memukau dengan gaya bicara dan gesture yang aduhai brilian. Amazing!
Beberapa kawan kakak ada yang tidak bisa move on dari tim kecilnya berdebat. Ya, dia debaters. Berceloteh lincah dengan bahasa asing dan dengan tajamnya membangun gagasan-gagasan. Beradu argumen dengan sopan tapi pasti. Dengan halus tapi tegas. Tidak seperti yang di Senayan sana dik, yang konon katanya berargumen sambil melempar kursi.
Dan yang lain ada pecinta kegiatan sosial. Sore mengajar di TPA, weekend aktif di panti asuhan, pagi hari aktif menggalang dana di gerbang kampus.
Oh ya, satu lagi, IPK mereka luar biasa dik! Jangan dikira mereka orang yang suka membentur-benturkan dua kebaikan, “ya sudah deh IPK jelek tapi aku kan aktivis.” No!
Lihat dik, betapa banyak kegiatan di luar belajar bersama dosen. Itu semua pembelajaran dik. Pembelajaran atas pentingnya mengatur agenda, pentingnya merancang skala prioritas, pentingnya skill berkomunikasi, pentingnya bertanggung jawab, pentingnya membangun etos kerja yang tangguh, dan tentu bermental baja. Semua itu diraih dengan belajar, bukan lahir sebagai bawaan.
Kita mungkin nyaman dengan kondisi ideal di kampus kita dik, tapi kita tak akan tahu akan di laut apa tempat Tuhan melepas kita nanti. Jangan sampai kita miskin soft skill, lalu terhanyut dalam lautan persaingan yang buas.
Dan teman-teman kita yang sudah lulus di sana dan sedang asik berbisnis, atau membangun start up, atau sedang sibuk bekerja yang katamu tak berkorelasi dengan apa yang telah dipelajari mereka, mereka seyogianya sedang menerapkan apa yang telah mereka pelajari dik. Mereka semua justru sedang memakai kemampuan-kemampuan lain dalam berlaga lihai berjuang di dunia nyata yang bak belantara, dengan apik memanfaatkan skill lain yang ia punya, yang telah diasah tajam selama dalam “kolam renang” kampus. Mereka keren!
Dik, kakak ingin sedikit bercerita. Sejujurnya kakak bukan orang yang pintar apalagi terpintar di Geologi. Tanyakan ke mereka, membuat penampang peta geologi saja kakak bertanya ke adik tingkat. Kakak hanya mahasiswa yang asik main sana-sini dan menikmati komunitas-komunitas di mana kakak berkembang di sana. Menyesap manis pengalaman-pengalaman lain yang tak akan didapat hanya dengan duduk di depan layar projector. Dan inilah yang menurut kakak banyak mengantarkan diri dapat bekerja di sini, bukan hanya sekadar mengandalkan kecerdasan ilmu kebumian, namun rangkaian-rangkaian pengalaman yang akan berguna nantinya dalam bekerja. Lihat dik! Bahkan disini pun butuh kemampuan lain yang perlu dipelajari semasa kuliah.
Dik, bersikap idealis dengan tetap berrusaha berkarier dijalur kita itu tak mengapa. Banyak kawan kakak yang masih berjuang tetap mengamalkan ilmunya dengan ikut sejumlah proyek, atau masuk dalam tim apprentice/internship. Yang mereka lakukan dengan tetap linear itu baik. Dan yang lain lakukan di tempat yang “tak sejalan” pun baik. Jangan pernah meremehkan satu pun, dik.
Karena yang terbaik adalah ia yang dengan profesinya bisa bermanfaat untuk khalayak manusia.
Dari seorang anak bungsu,
~Njh
![]() |
Picture source: https://lazionebudy.files.wordpress.com/2013/04/image0.jpg |
Keren sekali kak najih... Sangat menginspirasi kami.. Jazakallah khair..
BalasHapusTerimakasih telah membaca
HapusMantap jih 👍👍👍👍 teruslah berkarya dan menginspirasi banyak orang terutama org2 kyk urg yg masih butuh motivasi hehehe
BalasHapusAamiin, trmksh Rafil..
Hapusaku jatuh hati sama tulisanmu mas. salam dari ade dwi darmawan putra. semoga masih kamu ingat mas :p
BalasHapusJelas masih ingat dong, hehe, matursuwun mas.
HapusSubhanallah, terimakasih kak, tulisannya sangat membangkitkan diri ini untuk terus berjuang :D
BalasHapusTerus menulis ya kak Najih :)
#hanifa #SMATrensainsTebuireng #finalisPIF2016
Terimakasih Hanifa. Sukses juga buat teman2 di sana,
Hapus